Imam Malik (179 H )  diminta oleh Khalifah Harun Ar Rasyid untuk berkunjung ke istana dan  mengajar hadits kepadanya. Tidak hanya menolak datang, ulama yang  bergelar Imam Dar Al Hijrah itu malah meminta agar khalifah yang datang  sendiri ke rumah beliau untuk belajar,”Wahai Amiul Mukminin, ilmu itu  didatangi, tidak mendatangi.”
Akhirnya, mau tidak mau, Harun Ar Rasyidlah yang datang kepada Imam  Malik untuk belajar. Demikianlah sikap Imam Malik ketika berhadapan  dengan penguasa yang adil sekalipun semisal Ar Rasyid. Ia diperlakukan  sama dengan para pencari ilmu lainnya walau dari kalangan rakyat jelata.  Selain itu, para ulama menilai, bahwa kedekatan dengan penguasa bisa  menimbulkan banyak fitnah. Kisah ini termaktub dalam Adab As Syari’iyah  (2/52).
Tidak hanya Imam Malik, yang memperlakukan Ar Rasyid demikian, para  ulama lainnya pun memiliki sikap yang sama. Suatu saat Ar Rasyid pernah  meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para  ulama hadits agar mengajar hadits di istananya.
Tidak ada yang merespon undangan itu, kacuali dua ulama, yakni  Abdullah bin Idris 92 H) dan Isa bin Yunus (86 H), mereka bersedia  mengajarkan hadits, itupun harus dengan syarat, yakni belajar harus  dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana. Akhirnya kedua putra Ar  Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Di  sana mereka berdua mendapatkan seratus hadits. Setelah itu, mereka  berangkat menuju rumah Isa bin Yunus. Sebagai ”ucapan terima kasih”, Al  Makmun memberikan 10 ribu dirham. Tapi Isa bin Yunus menolak, dan  mengatakan,”Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak untuk  mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum”
Sedangkan Abu Hazim (140 H), ulama di masa tabi’in, pernah  menyatakan, bahwa di masa sebelum baliau, jika umara mengundang ulama,  ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerima.  Jika mereka memohonnya, mereka tidak menuruti. Akhirnya, para penguasa  yang mendatangi ulama di rumah-rumah mereka untuk bertanya. (Riwayat Abu  Nu’aim).
Kedekatan ulama dengan penguasa merupakan seuatu hal yang dianggap  sebagai aib oleh para ulama saat itu.Bahkan Abu Hazim  mengatakan,”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan  seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”
Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan  tabi’in juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu  para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak  akan memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat mushibah  pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).
Para ulama bersikap demikian, karena keakraban dengan penguasa bisa  menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan, karena ketika mereka  mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka  hal itu bisa menimbulkan perasaan ujub, atau kehilangan wibawa di  hadapan penguasa. Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar  ma’ruf nahi mungkar, jika para penguasa melakukan kesalahan.
Inilah yang sejak awal sudah diperingatkan oleh Rasulullah  Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), beliau telah bersabda, ”Barang siapa  tinggal di padang pasir, dia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan  ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia  terkena fitnah. (Riwayat Ahmad).
Suatu saat Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi (245 H), ulama hadits  semasa Imam Bukhari menerima seorang utusan dari Amir Thahir bin  Abdullah Al Khuza’i, seoarang penguasa pada waktu itu. Utusan itu  menemui Muhammad bin Rafi’ yang sedang makan roti dengan menyodorkan  uang lima ribu dirham. Sekantong uang itu diletakkan di samping  Muhammad.
Utusan itu menjelaskan bahwa Amir Thahir mengirimkan uang ini untuk  belanja kaluarga Muhammad. ”Ambil, ambillah harta itu untukmu. Saya  tidak membutuhkan. Saya telah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan  terus hidup?” Jawab Muhammad.
Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun,  setelah utusan itu pergi, putra Muhammad muncul dari dalam rumah, ”Wahai  Ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!” serunya, sebagaimana  dikisahkan Ad Dzahabi dalam Thabaqat Al Huffadz (2/510).
Ada pula sebuah kisah menarik lainnya, tentang Imam Al Auza’i (157  H). Setelah memberi nasehat kepada Khalifah Al Manshur, beliau meminta  izin kepada khalifah, untuk pergi meninggalkannya demi menjenguk anaknya  di negeri lain. Al Manshur merasa bahwa Al Auza’i telah berjasa  kepadanya, karena nasehat-nasehat yang telah disampaikan kepadanya.  Akhirnya, ia ingin memberi ”bekal perjalanan” untuk ulama ini. Namun apa  yang terjadi? Sebagaimana disebutkan dalam Al Mashabih Al Mudzi`  (2/133,134), Imam Al Auzai menolak. ”Saya tidak membutuhkan itu semua,  saya tidak sedang menjual nasehat, walau untuk seluruh dunia dan  seisinya.” Ucap beliau dengan tegas.
Ada beberapa ulama lain, yang juga tegas menolak pemberian para  penguasa. Adalah Kamal Al Anbari (513 H), dalam Thabaqat As Syafi’iyah  Al Kubra (7/155), disebutkan bahwa beliau adalah ulama nahwu yang  memiliki harta pas-pasan. Hidupnya hanya mengandalkan sewa kedai, yang  dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Namun keadaan itu tidak mempengaruhi sikap beliau. Suatu saat  khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang  500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Anbari menolak.  Sehingga utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah  harta ini kepada anakmu”.
Al Anbari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang  memberinya rezeki”
Perkataan Al Anbari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki  anaknya, hingga ia tidak perlu menerima dan memberikan hadiah itu kepada  anaknya.
Abu Hasan Al Karkhi (410 H) termasuk bagian dari deretan para ulama  yang menolak pemberian penguasa. Saat beliau menderita sakit keras, 4  sahabatnya menjenguk, merasa iba dengan keadaan Al Karkhi. Akhirnya  mereka berunding mengenai biaya pengobatan, karena tidak ingin  memberatkan umat Islam, mereka bersepakat untuk meminta penguasa waktu  itu, Saif Ad Daulah agar memberikan bantuan.
Setelah dilaksanakan, mereka mengabarkan hal itu kepada Al Karkhi.  Bukan malah senang, Al Karkhi malah menangis, dan berdoa, ”Ya Allah,  jangan Engkau jadikan rezeki untukku, kacuali apa yang biasa Engkau  berikan.”
Doa Al Karkhi terkabul, beliau telah wafat terlebih dahulu, sebelum  bantuan itu sampai. Barulah setelah itu, surat dari Saif Ad Daulah  berserta sepuluh ribu dirham tiba, dan disebut dalam surat, bahwa  penguasa berjanji, siap memberikan uang sebesar itu pula suatu saat  nanti. (trg/hdyt)
Selasa, 30 Maret 2010
Bagaimana sikapmu Ketika dia datang ????
Label:
Akhlaq dan Tazkiyatun,
Aqidah,
Hikmah,
Islamic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 "Allah! 
      None has the right to be worshipped but He, the Ever Living, the One Who 
      sustains and protecs all the exists. It is Who has sent down the Book (Al 
      Quran) to you with the truth, confirming what came before it, and He sent 
      down the Taurat (Torah) & the Injil (Gospel)."
(Surah Ali 
      Imran: 2-3)
"Allah! 
      None has the right to be worshipped but He, the Ever Living, the One Who 
      sustains and protecs all the exists. It is Who has sent down the Book (Al 
      Quran) to you with the truth, confirming what came before it, and He sent 
      down the Taurat (Torah) & the Injil (Gospel)."
(Surah Ali 
      Imran: 2-3)


0 komentar:
Posting Komentar